https://www.facebook.com/audience.etnik.7
https://www.facebook.com/AudienceEtnik
Audience Etnik merupakan suatu perkumpulan orang-orang berbasic Tradisi yang mempunyai hobby dalam bermusik, baik musik ber genre ska, reggae, blues, jazz maupun tradisional. Sehingga genre tersebut kami kemas menjadi satu sehingga terciptanya musik kolaborasi. Awal terbentuknya kami yaitu pada tanggal 9 April 2012, semuanya berawal dari sebuah kegiatan Eskul sen karawitan di salah satu sekolah. Kami beranggotakan 9 orang.
Jumat, 16 Mei 2014
Musik Kontemporer
Pengertian
Musik Kontemporer
Musik
kontemporer adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk bidang kegiatan kreatif
yang dalam konteks berbahasa Inggris paling sering disebut musik baru, musik
kontemporer, atau, lebih tepatnya, musik seni kontemporer. Ini menjadi istilah
yang paling digemari di tahun1990-an. Tetapi kesepakatan dalam penggunaan
istilah ini membangkitkan pertanyaan tentang apa yang termasuk dan apa yang
tidak termasuk dalam musik kontemporer. Ini menjadi sebuah inti dari perdebatan
hangat dikalangan musisi dan pemikir yang biasanya mempunyai persepsi yang
berbeda.
Keanekaragaman
Musik kontemporer secara resmi diakui dan dilembagakan dan dalam hal ini
ditetapkan sebagai sebuah gerakan yang lebih besar, yaitu Pekan Komponis,
sebuah pertemuan tahunan untuk para komposer dari berbagai daerah di Indonesia.
Pertemuan ini biasanya dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dari
pertemuan yang pertama di tahun 1979, komposer yang terlibat kebanyakan berasal
dari yang berbasis tradisional. Bahkan, komposer berbasis tradisional adalah
yang terbaik mewakili delapan iterasi awal, yang memberikan kontribusi lebih
dari tiga kali lebih banyak dari karya-karya itu dibanding rekan mereka yang
berorientasi Barat.
Asal Usul Musik Kontemporer
Tak dapat
dipungkiri, saat ini musik telah menjadi salah satu konsumsi utama dari
kebudayaan masyarakat di belahan bumi manapun. Musik rohani sendiri telah
banyak mengembangkan warna-warna baru yang bervariasi dengan pembawaan yang
lebih modern dan atraktif. Yang dulunya bernyanyi hanya diiringi sebuah organ,
piano atau gitar, kini lengkap sebagai sebuah band, ada pemain drum, gitar,
bass, piano, keyboard, perkusi serta alat musik lain yang dianggap perlu untuk
menciptakan sebuah musik. Kita sedang berada di zaman musik baru, yang
dinamakan Musik Kristen Kontemporer (Contemporary Christian music disingkat
CCM). Kata ‘Kontemporer” sendiri berasal dari kata ‘co’ (bersama) dan
‘tempo’ (waktu), sehingga dapat diartikan bahwa musik kontemporer adalah karya musik
yang secara thematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui (zaman
kini). Dasar musik yang dipakai adalah pop, rock dan praise & worship.
Beberapa penyanyi atau grup yang mewakili aliran Musik Kristen kontemporer ini
antara lain Avalon, Barlow Girl, Jeremy Camp, Casting Crowns, Steven Curtis
Chapman, David Crowder Band, Amy Grant, Natalie Grand, Jars of Clay, MercyMe,
Newsboys, Chris Tomlin, Hillsong, Michael W. Smith, Rebeca St. James, Thrid
Day, TobyMac, dan masih banyak yang lain lagi. Memang tidak semua musik populer
Kristen saat ini serta merta dianggap sebagai musik Kristen kontemporer
misalnya banyak grup funk, hardcore, hip hop walaupun mengusung thema tentang
iman Kristen. Artis seperti Bob Dylan,The Byrds, Lifehouse dan U2 pun tidak
tergolong sebagai artis CCM.
Munculnya Musik Kristen Kontemporer
Musik
Kristen Kontemporer muncul pertama kali ketika terjadi kebangkitan Jesus
Movement di akhir tahun 1960, awal tahun 1970. Satu dari sekian banyak album
Jesus Music yang populer adalah Upon This Rock (1969) oleh Larry Norman yang
dikeluarkan oleh Capitol Record. Berbeda dengan Musik Gospel Tradisional di
belahan bumi selatan, aliran Jesus Music yang baru ini, warna musiknya bukan
Rock & Roll. Pelopor dari kegerakan ini termasuk 2nd Chapter of Acts,
Andrae Crouch and the Disciples, Love Song, Petra, dan Barry McGuire. Budaya
Jesus Music ini menjadi luas, hingga menjadi sebuah indrustri musik yang
bernilai miliaran dolar di tahun 1980-an. Tahun 1990 an banyak artis-artis CCM
seperti Amy Grant, dc Talk, Michael W. Smith, Stryper dan Jars of Clay, telah
mencapai kesuksesan dalam industri musik.
Sekarang
ini penjualan musik Kristen kontemporer bahkan melebihi musik-musik klasik,
jazz, latin, New Age dan soundtrack musik. Dalam http://christianmusic.about.com/od/
trivia/a/ccmhistory.htm tentang topik The Changing Face of Christian Music
diketahui bahwa Larry Norman, pelopor rock alternative Kristen sejak tahun 1960
dikenal sebagai the "Father of Christian Rock" (Bapak Musik Rock
Kristen), Dan Marsha Stevens, pemimpin dari Children of the Day dikenal sebagai
the "Mother of Contemporary Christian Music" (Induk dari Musik
Kristen Kontemporer) menurut versi The Encyclopedia of Contemporary Christian
Music. Chuck Girard dikenal pula sebagai artis pria Musik Kristen Kontemporer,
yang merintis di gereja California.
Kontroversi Musik Kontemporer
Sejak
munculnya Musik Kristen Kontemporer tahun 1970an, musik kristen seolah terbagi
menjadi dua: Hymne (tradisional) dan kontemporer. Hymne cenderung terkesan dengan
suasana yang tenang (tidak bersemangat) dan khidmat (terkesan kolot). Hymne
juga sangat didekatkan pada musik yang berat, notasinya cukup sulit dan kadang
sulit dimengerti apalagi dinikmati, sehingga membentuk image bahwa hymne adalah
lagu yang ‘jadul’ (kuno). Sedangkan musik kristen kontemporer cenderung
terkesan dinamis, penuh semangat dan “ringan”. Musiknya mudah dimengerti dan
dinikmati. Ini hanyalah beberapa poin kontroversi seputar merebaknya musik
kristen kontemporer, sehingga pro dan kontra sudah menjadi bagian sejarah musik
gereja saat ini.
John
Styll, presiden dari Nashville-based CCM Communications dan ketua Gospel Music
Association di Amerika misalnya, menyatakan, trend ke depannya, gereja-gereja
akan lebih terbuka terhadap musik kontemporer. "Bisa dibilang jika gereja
memakai lagu-lagu penyembahan kontemporer, maka gereja itu akan bertumbuh, dan
jika melawannya maka gereja itu jika tidak mati, akan mengalami
kemandekan," ujar John Styll. la menyebutkan total penjualan album rohani
kontemporer di Amerika bertumbuh pesat dari USD 83 juta di tahun 80-an menjadi
USD 700 juta di tahun 2004. Yang menarik, setengahnya justru terjual di outlet
gereja Protestan (non Pentakosta/ Karismatik). Memang di sebagian gereja,
sepertinya menuai konsekuensi kalau tidak mengikuti zaman. Yaitu, secara
otomatis jumlah jemaat yang muda akan berkurang. Kenapa? Karena muda-mudi yang
hidup saat ini (khususnya di perkotaan) bisa dipastikan lebih tertarik dengan
kebaktian yang lebih variatif dan lebih tertarik dengan kemajuan zaman, apalagi
saat ini dunia band semakin diminati kawula muda. Hal itu dapat dilihat dari
kegiatan musikal yang berbau band dan ramai ditonton oleh orang-orang muda
sedangkan pada musik klasik dan tradisional, kita lihat saja sendiri.
Sehingga
kebanyakan alasan yang dilontarkan adalah satu-satunya cara untuk meraih
orang-orang yang mencintai musik (khususnya kaum muda) adalah melalui bahasa
mereka sendiri. Namun demikian setidaknya ada beberapa hal yang menjadi
catatan negatif tentang musik Kristen kontemporer ini antara lain, pertama,
isinya ada banyak kemasukan teologia kemakmuran, sehingga memanjakan jemaat;
kedua, dalam liriknya kebanyakan memakai kata “aku”, terkesan egois . Ini
disebabkan lagu kristen kontemporer banyak dibuat berdasarkan pengalaman
pribadi sang pembuat lagu sifatnya subyektif. Namun ada beberapa lagu seperti
“Besar Dan Ajaiblah KaryaMu” ciptaan Pdt. Ir. Niko Nyotoraharjo dan “Mulia
Sembah Raja Mulia (Majesty)” karya Pdt. Dr. Jack William Hayford diakui
sebagai lagu kontemporer yang berkwalitas Hymne. Ketiga, Musik Kristen
Kontemporer kini terlalu komersiil sehingga kebanyakan mengejar deadline untuk
mengeluarkan album, sehingga terkesan mencari keuntungan uang.
Tidaklah
salah untuk terus bertumbuh dan berkembang mengikuti perubahan teknologi,
media, musik, gaya hidup dan sebagainya. Namun, kita jangan meninggalkan
nilai-nilai konservatif (nilai-nilai yang baik) yang kita punyai. Banyak nilai
‘konservatif (yang baik)’ tentang sebuah keluarga (komitmen, keutuhan, dsb),
nilai-nilai tentang hubungan cinta yang sehat, nilai-nilai persahabatan, yang
seringkali menyelamatkan kita dari jurang kehancuran.
Perkembangan
Musik Kontemporer di Indonesia
Di Indonesia, perkembangan musik kontemporer baru
mulai dirasakan sejak diselenggarakannya acara Pekan Komponis Muda tahun 1979
di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melalui acara itu komunikasi para seniman
antar daerah dengan berbagai macam latar belakang budaya lebih terjalin. Forum
diskusi serta dialog antar seniman dalam acara tersebut saling memberi
kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif musik menjadi lebih luas. Sampai
hari ini para komponis yang pernah terlibat dalam acara itu menjadi sosok
individual yang sangat memberi pengaruh kuat untuk para komponis musik
kontemporer selanjutnya. Nama-nama seperti Rahayu Supanggah, Al Suwardi, Komang
Astita, Harry Roesli, Nano Suratno, Sutanto, Ben Pasaribu, Trisutji Kamal, Tony
Prabowo, Yusbar Jailani, Dody Satya Ekagustdiman, Nyoman Windha, Otto Sidharta
dan masih banyak yang belum disebutkan, adalah para komponis kontemporer yang
ciri-ciri karyanya sulit sekali dikategorikan secara konvensional. Karya-karya
mereka selain memiliki keunikan tersendiri, juga cukup bervariasi sehingga dari
waktu ke waktu konsep-konsep musik mereka bisa berubah-ubah tergantung pada
semangat serta kapasitas masing-masing dalam mengembangkan kreatifitasnya. Pada
puncaknya, karya-karya musik kontemporer tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar
belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat.
Akan tetapi sikap serta pemikiran individual-lah yang paling penting, sebagai
landasan dalam proses kreatifitas musik kontemporer. Sikap serta pemikiran itu
tercermin seperti yang telah dikemukakan komponis kontemporer I wayan Sadra
antara lain :
“Kini tak zamannya
lagi membuat generalisasi bahwa aspirasi musikal masyarakat adalah satu, dengan
kata lain ia bukan miliki kebudayaan yang disimpulkan secara umum, melainkan
milik pribadi orang per orang” (Sadra, 2003).
Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sunda
tampaknya agak lamban. Selain apresiasi
masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat
sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk
penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta
misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil
menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang
didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo
pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International
Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu
dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival “World Music” dengan
nama acara “Hitam Putih” di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain
sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar “ritual”
atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena
pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli
merupakan “seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai”.
Sebenarnya banyak komponis kontemporer di daerah Sunda
yang cukup potensial, akan tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu
komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih
cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti karya
“Sangkuriang” atau “Warna” memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda.
Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya
dalam pengembangan instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup
konsisten dalam upaya mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade
Rudiana yang sukses dalam pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili
Suparli yang memegang prinsip kuat dalam pengolahan idiom-idiom musik tradisi
Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda,
Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang
karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek
kompositorisnya. (posisi penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang
kurang lebih sama dengan para komponis yang terakhir disebutkan).
Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah
disebutkan di atas, secara kompositoris karakteristik karyanya dapat dipetakan
menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang bersifat “musik
iringan”. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan
suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya
berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat
“illustratif”. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan sesuatu dari naskah
cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi musiknya lebih tertuju
pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi komponisnya.
Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini
biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak
baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan
karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik seperti ini sering
menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang “anti tradisi”, padahal secara
sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang
seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer
Barat (Eropa-Amerika).
Di Bali, aktivitas berkesenian dengan ideologi
”kontemporer” sesungguhnya telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dengan
lahirnya seni kekebyaran di Bali Utara. Namun wacana tentang musik kontemporer
mulai mengemuka serangkaian adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan
di Jakarta pada tahun 1979. Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu
adalah I Nyoman Astita dengan karyanya yang berjudul ”Gema Eka Dasa Rudra”.
Pada tahun-tahun berikutnya Pekan Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis
muda Bali lainnya seperti I Wayan Rai tahun 1982 dengan karyanya ”Trompong
Beruk”, I Nyoman Windha tahun 1983 dengan karyanya berjudul ”Sangkep”, I Ketut
Gede Asnawa tahun 1984 dengan karyanya berjudul
”Kosong”, Ni Ketut Suryatini dan I Wayan Suweca tahun 1987 dengan karyanya
berjudul ”Irama Hidup”, I Nyoman Windha tahun 1988, dengan dua karyanya
sekaligus yaitu ”Bali Age” dan ”Sumpah Palapa”.
Kehadiran karya musik kontemporer ini mulai terasa
mengguncang persepsi masyarakat akademik di ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar
dan juga di KOKAR Bali (kini SMK 3 Sukawati), karena musik ini cendrung
mengubah cara pandang, cita rasa, dan kriteria estetik yang sebelumnya telah
dikurung oleh sesuatu yang terpola, ada standarisasi, seragam, global, dan
bersifat sentral. Konsep musik kontemporer menjadi sangat personal
(individual), sehingga perkembangannyapun beragam. Paham inilah yang ditawarkan
oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya yang lahir banyak terjadi
vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang telah mapan ke dalam wujud
yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.
Pada tahun 1987 serangkain dengan tugas kelas mata
kuliah Komposisi VI, mahasiswa jurusan karawitan ASTI Denpasar semester VIII
untuk pertama kalinya menggarap sebuah musik kontemporer dengan judul ”Apang
Sing Keto”. Karya yang berbentuk drama musik ini menggunakan instrumen
pokok Gamelan Gong Gede dipadu olahan vokal dan penggunaan lagu ”Goak Maling
Taluh” sebagai lagu pokok. Karya ini kemudian ditampilkan pada Pesta
Kesenian Bali tahun 1987 dan mendapat sambutan meriah dari penonton. Pada tahun
1988 ketika Festival Seni Mahasiswa di Surakarta, saya sendiri selaku komponis
mewakili STSI Denpasar menggarap karya musik kontemporer yang berjudul ”Belabar
Agung” dengan menggunakan gamelan Gong Gede. Dua karya terakhir ini sempat
mendapat kecaman dari beberapa sesepuh karawitan, karena dianggap memperkosa
dan melecehkan gamelan Gong Gede yang telah memiliki kaidah-kaidah konvensional
yang mapan.
Dua tahun kemudian, satu garapan musik kontemporer
dengan media ungkap berbeda digarap kolaboratif oleh dua seniman I Wayan Dibia
dan Keith Terry yaitu ”Body Tjak”. Karya ini merupakan seni pertunjukan
multikultural hasil kerja sama atau kolaborasi internasional yang memadukan
unsur-unsur seni dan budaya Barat (Amerika) dan Timur (Bali-Indonesia). ”Body
Tjak” digarap dengan penggabungan unsur-unsur seni Kecak
Bali dengan Body Music, sebuah jenis musik baru yang menggunakan tubuh
manusia sebagai sumber bunyi. Garapan bernuansa seni budaya global ini, lahir
dengan dua produksinya yaitu Body Tjak 1990 (BT90) dan Body Tjak 1999 (BT99)
(Dibia, 2000:10). Kedua karya ini memang murni lahir dari keinginan seniman
untuk mengekspresikan jiwanya yang telah tergugah oleh dinamisme seni kecak dan
body music. Dengan berbekal pengalaman estetis masing-masing, dan
diilhami oleh obsesi aktualitas kekinian, kedua seniman sepakat melakukan
eksperimen dalam bentuk workshop-workshop sehingga lahirlah musik kontemporer
Body Tjak.
Kehidupan dan perkembangan musik kontemporer yang
diawali event-event gelar seni baik dalam dan luar negeri akhirnya juga masuk
ke ranah akademik. Mahasiswa jurusan karawitan ISI Denpasar telah banyak
menggarap musik kontemporer sebagai materi ujian akhirnya. Hingga tahun 2009
penggarapan musik kontemporer masih mendominasi pilihan materi ujian akhir
mahasiswa jurusan karawitan, hal ini menyebabkan secara produktivitas
penciptaan musik kontemporer sangat banyak, model dan jenisnyapun sangat
beragam. Penggunaan instrumen tidak hanya terpaku pada alat-alat musik
tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik budaya lainnya, bahkan
mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda apa saja yang dianggap
bisa mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.
Musik kontemporer yang berjudul ”Gerausch” karya
Sang Nyoman Putra Arsa Wijaya adalah salah satu contoh eksplorasi radikal dalam
musik kontemporer Bali. Karya ini sempat memunculkan polemik kecil di kalangan
akademik kampus. Berkembang wacana ”apakah karya ini tergolong musik atau
tidak, termasuk karya karawitan atau bukan?”.
Namun dengan pemahaman yang cukup alot dari masyarakat akademik kampus,
akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan sang komposer memperoleh
gelar S1 Komposisi Karawitan.
Ciri – Ciri Musik Kontemporer
Musik kontemporer
memiliki ciri-ciri umum, antara lain:
1. Warna bunyi bisa sejenis
atau bisa berbagai jenis.
2. Notasi musik hanya dapat
dimengerti oleh pemusik karena notasinya ditulis dengan simbol
atau tanda.
3. Memiliki improfisasi
yang bervariasi mengikuti keinginan dari pemusik.
4. Bunyi dapat berasal dari
sumber yang beragam,bukan hanya dari instrumen musik.
5. Jenis tangga nada yang
dipakai bervariasi.
6. Jenis birama tidak
terpaku pada satu birama saja.
7. Dinamik dan tempo
bervariasi.
Langganan:
Postingan (Atom)